Pergi, Menunggu, dan Kembali, Buntu
Oleh, Biru
Aku menyadari bahwasannya akan ada rasanya hal itu
terjadi tak sesuai dengan permintaan apa yang kita kehendaki. Aku bingung
bagaimana jadinya jika ia tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Kami
berdua sama-sama memperhatikan masing-masing kopi yang mulai memberikan
keringat pada gelas plastik yang bertambah membasah.
“Mau sampai kapan kamu mendiamkan aku?” tanyanya.
“Aku hanya malas berbicara Jiz,” ujarku.
“Iya aku tau ini semua salahku, emang gabisa ya kita
baikan dulu tiga hari lagi aku harus berangkat ke Surabaya. Ldr enggak mudah
Mar,” terangnya.
“Emang siapa sih yang bilang mudah? Aku kan gabilang
apa-apa. Aku hanya bilang aku cuma cape males ngomong,” kataku sambil beralih
menyambar segelas kopi yang mulai terasa tak lagi nikmat.
Hanya sekadar untuk membasahi tenggorokkan mungkin
boleh juga. Kulihat Mas Ajiz yang berada di depanku kini beralih tempat duduk,
ia memilih berada disampingku dan mendaratkan sebuah pelukan. Seperti biasa
tangannya yang tidak tinggal diam mengelus punggungku begitu saja. Aku
mendapati rasa tenang yang amat sangat luar biasa, sebuah pelukan Ajiz mampu
meluluhkan emosiku selama beberapa hari yang ku pendam.
“Maafin Mas ya, nanti Mas balik ke sini lagi buat bawain
kamu kue cincin.”
Aku hanya diam, tanpa menyahut soal apapun yang Mas
Ajiz katakan. Aku hanya sebal ketika ia berkali-kali tidak bisa membagi waktu
soal kesibukannya. Bahkan waktu itu ia pernah mendiamkanku selama beberapa
hari.
Tak ada balasan surat, maupun e-mail. Beberapa hari
aku berseru tidak jelas, dengan Abang-abang warnet yang berkali-kali mengatakan
kalau tidak ada e-mail masuk atau sebuah surat yang dititipkan padanya.
Lalu besoknya Mas Ajiz datang dengan 1 box kue
cincin, dan sebuah senyuman yang membuat kedua matanya menghilang begitu saja.
Tak ada kata menyesal, sedih, atau rasa rindu yang tergurat dalam wajahnya. Itu
hanya perspektifku saja.
Mengingat hal tersebut aku hanya berjalan melaluinya
begitu saja tanpa mengatakan apapun. Karena, aku sudah benar-benar muak akan
semua hal tentangnya. Selalu saja ia, membiarkan aku lama untuk sendiri. Ini
bukan berarti aku melarang ia melakukan apapun yang ia mau hanya saja aku ingin
sebuah pemahaman dan kabar.
“Mara sayang,
kamu marah ya?”
Pertanyaan yang cukup bodoh, itu hal yang tidak
seharusnya ditanyakan. Aku tetap berjalan menganggap perkataannya hanya sebuah
angin berlalu.
“Mara maafin Mas
ya, kemarin tidak menyempatkan membalas e-mail atau surat. Ini Mas bawa kue
cincin kesukaan kamu. Ayo kita makan bareng?”
Ia tetap mengikutiku dan aku tetap menganggapnya
tidak ada. Dan ya itu kejadian sudah berlalu lama, dan sekarang terjadi lagi
persoalan berbeda namun ini nampaknya agak sedikit berat.
Mas Ajiz bakalan
tinggal di Surabaya.
Sungguh kabar yang menyedihkan ketika melihat
perlakuan Mas Ajiz selama ini terkadang membuatku menangis perkara soal kabar,
bagaimana jika nanti dia telah di Surabaya. Akankah terjadi hal yang sama?
“Aku janji okey? Enggak bakalan bikin Mara bingung?
Iya. Nanti kalau aku udah siap dan stabil aku lamar kamu dan nikahin kamu lalu
kita ke Surabaya bersama,” terangnya.
Aku mengangguk lalu melepaskan pelukan yang ia
berikan, masih sedikit kesal tetapi ini bukan sepenuhnya keinginan dia untuk
pergi ke Surabaya.
“Nanti kalau kirim surat pasti lama,” kataku sambil
mengaduk kopi yang sudah terasa sedikit aneh.
“Aku pakai paket dengan kiriman kilat.”
“Tapikan itu mahal Mas.”
“Gapapa, kan yang penting cepat sampainya ke Tuan
Putri.”
Aku tak membalas apa yang ia katakan, tetapi semoga
semua perkataan yang ia utarakan padaku benar adanya.
***
Aku enggak tahu harus senang atau sedih, tetapi
benar apa yang Mas Ajiz katakan sebelumnya ia benar-benar menepati janjinya
selama pindah ke Surabaya.
“Senyum terus Mar, bahagia banget ya,” seru Adel
yang tiba-tiba saja ikut nimbrung duduk di sampingku.
Kami berdua membaca surat yang dikirimkan oleh Mas Ajiz, kemarin baru sampai tetapi aku baru sempat membacanya saat ini. Ditemani sahabatku Adel.
“Tuhkan
Mar, apa aku bilang Ajiz gapapa udah jangan khawatir. Apasih yang kamu takutin
dari dia?” tanyanya Adel yang tengah berguman sambil kembali mengaduk kuah
bakso yang sudah berubah warna akibat ia terus menerus menambahkan kecap.
“Iya
juga ya.”
“Udah percaya deh sama aku, mending lanjut makan
bakso aja,” ujar Adel. Benar ada baiknya apa kata Adel, berhubung perutku
sangat lapar mending kita makan bakso saja. kemudian baru memikirkan hal lain
yang perlu dipikirkan. Memikirkan hal yang tidak pasti hanya membuat lelah
semata.
***
Hari demi hari, masih saja tetap sama Mas Ajiz mengubungiku dengan baik dengan surat yang ia berikan, terkadang ada selipan bingkisan yang ia berikan. Sekadar bunga atau bahkan makanan kering yang dapat tahan lama ketika ia mengirimnya kemari. Meski hanya sebuah surat yang dapat ia kirim aku sangat bersyukur, akan semua hal yang ia berikan pernah pada waktu itu ia mengirimkan beberapa lembar foto yang disana terdapat sebuah foto langit Surabaya di sore hari, malam hari, dan pagi hari. Mas Ajiz menuliskan beserta tanggal mengambilnya dalam sebuah amplop besar coklat beserta surat yang aku terima.
Aku menggerutu kesal. Meski apa yang ia katakan
benar adanya, aku menyukai langit tetapi kenapa tidak mengirimkan fotonya saja?
aku merindukan senyuman yang setiap kalinya menyapaku dengan 1 box kue cincin.
Kenapa harus langit! Mas Ajiz, selalu dan seperti biasa menyebalkan.
Tapi, fotonya cukup indah serta beberapa puisi yang
ia tulis cukup menenangkan perasaanku saat itu juga.
Mara sayang,
Yang kusayang,
Yang ku cinta
//
Dalam dekap kita
sama-sama bergelut
Mengenai rindu
yang tengah dirapal dengan yakin
Mari kita
sama-sama menabung
//
Perihal apapun,
Termasuk perihal
doa akan tetap hidup
-Ajiz di
Surabaya
Jangan terlalu
lama sedih,
Aku disini
Jangan terlalu
lama risau
Aku disini
Benar-benar
disini,
Coba rasakan
lebih dalam dan tenang
Coba menikmati
dengan beberapa langit yang berbeda
Kamu akan merasa
Kamu akan
bersama
-Ajiz di
Surabaya
Tetap ingat aku walau apapun yang tengah terjadi
Jangan risau semua akan ada jalan
Jangan risau semua akan punya pengganti
Aku tak apa, dan kamu juga demikian
Semoga lekas bertemu Mara sayang
Semua rindu sudah bergelut menjadi satu
-Ajiz di
Surabaya
Aku sedikit membenci puisi di sore hari, kenapa
terlihat seperti seseorang yang menyedihkan. Aku menceritakannya hal itu kepada
Adel, tetapi ia tak banyak berkomentar mengenai hal tersebut. Jadi, aku
memberanikan diri untuk bertanya kepada Mas Ajiz sendiri, aku berkali-kali
mengulangi kata yang sama dalam surat tersebut. Itu menyebalkan aku butuh
sebuah penjelasan dari Mas Ajiz.
Sudah mencoba aku menunggu beberapa hari, minggu,
dan tak kunjung ada balasan dari Mas Ajiz. Pun juga tak ada kabar dari
siapapun, Adel yang setiap saatnya mencoba meyakinkan aku pasti ada kendala
dari pengirimannya atau barangkali dia sibuk dengan beberapa hal yang ia
lakukan.
Menunggu dan terus menunggu.
Membuatku mengerti akan beberapa hal yang ia sampaikan pada surat, pada puisi yang Mas Ajiz sampaikan kalau ia benar-benar kembali. Namun tidak ada lagi cerita lama dengan lanjutan lembaran baru yang ada hanya sebuah isakan tangis yang memberi sisa sembab mata dan rasa sesak dalam hati yang berkali-kali lipat.
Semoga Mas Ajiz
tenang disana.
Tamat
Comments
Post a Comment