Tak Lagi Bersuara

Oleh, Biru 

Aku tidak tahu menahu soal apapun, termasuk keputusan ia untuk tidak melanjutkan hubungan ini lebih dari selebihnya. 

Mungkin pada dasarnya, memang demikian. Ia ragu, pada diriku sendiri. Dan akupun merasa ragu dengan diriku sendiri, yang masih suka mempertanyakan banyak hal? Tentang mimpi, tentang sebuah perbandingan dari hal-hal sederhana yang suka mengganggu benakku sejak lama. 

Tak ada salam perpisahan, tak ada juga kata untuk hal-hal terakhir. Ia hanya memberiku selembar kertas lewat Gisa. 

Sebelum keberangkatanku ke Jerman. Gisa datang ke rumahku, aku tak tahu ketika diriku masih berdiri kaku di depan pintu seperti zombie. Karena banyak pekerjaan yang perlu ku selesaikan selama beberapa hari itu, tiba-tiba ia memelukku. 

“Maaf ya Na.”
“Maafin aku.”

Sekarang selembar undangan itu masih enggan kubuka. Karena aku tau jika Dhyo akan menikah dalam minggu ini. Nama dalam undangan itu, terpampang dengan jelas. 

Dhyo Ramana Putra

Lebih mengejutkannya lagi, kenapa harus dengan Gisa? 
Dari banyak wanita yang kau temukan kenapa harus Gisa? 

Setelah Gisa mengantarkan undangan, ia mengatakan banyak hal tetapi aku sama sekali tidak menggubrisnya. 

Hanya ada kata iya, dan sisanya aku melihat ia menangis. 
Merintih, lalu kesakitan. 

Entah kenapa tampak menyenangkan untuk melihatnya. Tak berselang lama, suaranya mulai terdengar sayup-sayup. Aku memilih pergi dan menutup kamar mandi. 

Biarlah malam terakhir ini ku buatnya menggigil. 
Sebagai salam perpisahan.

Tamat

Comments

Popular Posts