Mengantar, Pulang

 Oleh Biru

Note : Read and listen Jimin x HaSung-Woon With You [If you want]

Suara mendominasi berasal dari langit, kulihat beberapa gerombolan burung Cerek melintas. Mereka terlihat terbang seirama dan kemudian terpencar.

“Kau suka?” tanya Ayah.

Aku mengangguk bersemangat, kulihat ayah yang sibuk menyetir sepanjang perjalanan kini sesekali melihat aku yang tersenyum menatap jalanan yang sudah membawa langkah kita menuju pantai. Deburan ombak semakin terdengar dan membuat aku semakin antusias.

“Ini kali pertama, aku harap membawa kesan yang cukup kuat.”

“Dulu pertama kali ayah kesini sama ibu, dan sekarang sama kamu,” ujar Ayah.

“Ayah kangen ibu?” kutanya, seraya berusaha meraih topi pada bagian kursi belakang.

Tak ada jawaban ayah hanya menatap lurus sepanjang jalanan, aku tak berani membuka pembicaraan secara lebih lanjut. Aku tau jika ayah sebenarnya merindukan semua itu, tetapi aku takut jika perkataanku menyakiti hati beliau. Apalagi kita berada di hari yang menyenangkan, pergi ke pantai untuk pertama kalinya bagiku setelah menginjak usia enam belas tahun.

Perjalanan kita telah sampai, aku dan ayah berjalan beriringan menuju bibir pantai. Selang beberapa meter dengan ombak ayah memilih untuk duduk, sedangkan aku membiarkan kakiku menyentuh segarnya air pantai sore ini.

“Jangan terlalu jauh,” ujar Ayah dengan sedikit berteriak karena ombak cukup kuat untuk menghempaskan tubuh siapa saja.

Aku tersenyum dari kejauhan, kemudian berjalan dan duduk bersama.

“Maaf ayah terlalu sibuk bekerja.”

Memang iya, aku juga merindukan makan bersama ayah, tertawa bersama ayah, menggambar pada dinding-dinding kamar bersama ayah. Tetapi, semenjak ibu pergi ayah mengambil alih semuanya. Dan sekaligus menjadi sosok keduanya. Aku merasakan kesedihan ketika waktu kami berbincang dan bertukar cerita saling berkurang, tetapi yang ku takutkan ayah terlalu memenuhi ekspektasiku.

“Aku hanya takut beliau jatuh lebih dalam, dan tak ada satupun dijadikannya tempat bercerita.”

Aku menggeleng, mencoba menangkis apa yang beliau katakan.

“Tak apa, Kia tidak mempermasalahkan semua.”

Kulihat mata ayah berkaca-kaca, mungkin sejak dari perjalanan menuju kesini Ayah menahan semuanya. Aku bergegas untuk beranjak pergi, mencari cela agar beliau dapat meluapkan semua yang tengah rasakan.

Orang dewasa sepertinya lebih suka menahan semuanya, dan menikmati kesendiriannya.

“Ayah tunggu disini, aku akan membeli es kelapa muda.”

Ayah mengangguk tanda mengiyakan.

Aku pergi kemudian berjalan disekitar pantai yang dipenuhi dengan warung-warung kecil, menyediakan berbagai macam makanan. Ada ikan bakar, ada nasi bakar, bakso dan minuman segar. Beberapa dari mereka juga ada yang mulai membereskan tempatnya.

Setelah dirasa mendapatkan beberapa makanan yang aku mau. Aku memutuskan untuk cepat-cepat kembali, dan tepat ditempatku dimana aku dan ayah duduk disana ramai dengan banyak orang.

Aku sedikit berlari, dan mencoba mencari cela.

“Ayah?”

“Ayah?”

“Ayah?”

Aku memanggil dalam kerumunan, tak ada jawaban dan entah mengapa hatiku berkecamuk saat itu juga. Kulihat beberapa ibu-ibu menjerit tak jauh dari tempatku.

Setelah kusadari teriakan mereka memekakan telinga, membuat pandanganku terlihat buram begitu saja. Aku melihat ayah tak sadarkan diri, beberapa orang membawanya menepi ke tempat kami berdua semula.

Melihat, dan mendengarkan perkataan mereka membuat diriku terdiam.

“Ayah berjalan membelah ombak, dan tak memperdulikan apa saja.”

“Kemudian tak sadarkan diri, meninggalkanku seorang diri.”

“Hingga kini, menuju tiga puluh tahun. Aku masih saja seorang diri.”

Tamat

Comments

Popular Posts