Tidak Ada Lagi, Pertemuan
Oleh, Biru
Kapan terakhir kali aku menikmati kopi dan beberapa
kue kering buatan Arma? Mungkin beberapa bulan lalu atau pekan lalu aku juga
tak tahu kapan pastinya yang sangat jelas demikian adalah berkutat dengan
ribuan pekerjaan yang tak kunjung usai dan tugas kuliah yang terbengkalai.
Suara Arma yang sendari tadi memenuhi ruangan menemaniku sampai dengan beberapa
jam sebelumnya.
“Tar kamu gamau keluar?” tanya Arma.
Aku menggeleng, dan memilih kembali berkutat dengan
beberapa pekerjaan yang menemani malam, sore, dan juga beberapa pekan minggu
sebelumnya.
“Di sana ada donat kentang, matcha frappe, sama
gorengan. Kayaknya enak deh Tar kalo buat cemilan terus ada Mamang Utin inget
gak? Bakso langganan kamu?” seru Arma dengan antusias.
“Boleh, mau pesen lewat gojek gak?” kutanya.
“Lho kan aku ngajak kamu keluar, kita makan disana
sambil nikmatin ujan sore.”
Aku mengangguk, kembali meletakkan beberapa dokumen
yang berada dalam genggaman dan berjalan meninggalkannya. Tenang, nanti kita
bertemu kembali tapi aku hanya berharap semoga lekas usai.
Sungguh, badanku rasanya tak sanggup menahan
beberapa cabang pemikiran bagaimana menuntaskan semuanya secepat mungkin atau
sebisaku. Yang kurindukan saat ini hanyalah Karra, ciuman Karra, Pelukan Karra
dan beberapa runtutan omelan yang kuterima akibat tidur terlalu malam dan ya,
bahkan hampir menjelang pagi. Lalu jangan lupakan soal kopi, kopi, dan kopi.
“Minum kopi
lagi?”
“Berapa gelas?”
Kedua hal yang menjadi topik utama pembicaraannya
ketika sebuah panggilan bermula. Tetapi, hampir satu minggu penuh Karra
mendiamkanku. Setiap teks yang kukirimkan hanya dibaca bahkan tak ada balasan
ataupun sebuah panggilan yang berdering.
Jujur aku merindukan semua hal yang ia berikan.
Kita berdua sudah berada dihadapan beberapa jejeran
jajanan kaki lima. Entah mengapa aku merasakan badanku cukup tidak berenergi
cukup untuk berjalan seperti biasanya. Rasanya amat sangat lemas, dan sedikit
nyeri pada bagian perut.
“Mau beli apa dulu Tar?” tanya Arma.
“Terserah.”
Entah Arma yang berjalan terlalu cepat atau aku saja
yang terlalu lambat, rasa lemas semakin mengambil alih. Aku berusaha untuk
memanggil Arma tetapi tubuhku terlalu lemas untuk bertindak seperti biasanya.
Yang kurasakan hanyalah gelap dan teriakan Arma yang memanggilku secara
berulang kali.
“Tar!”
“Tarti!!”
“Tarrr!! Pak
tolong pak telfon 911!”
Rasa pening dan sakit perut yang tak kunjung reda
aku masih merasakannya. Tapi, disisi lain aku merasakan genggaman jari jemari
yang kiranya memberi rasa hangat yang menjalar. Seseorang yang aku rindukan
berada dalam dekatku.
Aku tak merasakan apapun selain hanya menangis, dan
mendengarkan lirihan suaranya yang samar-samar. Genggaman jari jemari Karra
semakin erat seperti kali pertama aku memberanikan diri untuk menggamnya. Tapi
aku merasakan jika rasa lelahku sudah terobati.
Bunyi asing yang tidak natural terus mendengung, aku
merasakan bahwa beberapa dari mereka membicarakanku namun mataku hanya tertuju
pada Karra dengan mata sembab. Aku ingin memeluknya dan mengatakan sesuatu
tetapi entah mengapa energiku tidak terlalu banyak untuk semua itu.
Aku hanya merasa lebih baik, namun sedikit
menyakitkan.
“Aku pulang ya Rra, jangan menangis.”
Tamat
Comments
Post a Comment