Menjelang Magrib
Oleh, Biru
Pagi ini sebelum berangkat ke tempat biasanya. Ia
terlebih dulu menyeduh dua gelas kopi, dan dua lembar roti yang ia beri selai
hanya setengahnya saja. Ama tidak terlalu menyukai selai stroberi tapi istrinya
yang selalu menyukai itu, lebih tepatnya menyukai apapun yang berhubungan
dengan buah kecil berwarna merah.
Ia membiarkan jendela itu terbuka, Ama tersenyum
ketika melihat bantalan diatas kayu dekat jendela. Ama sengaja membuatnya
karena ia tahu setiap sore Anis selalu duduk disana, menikmati secangkir kopi
dan satu buku digenggamnya sesekali ia bersenandung meski suaranya tidak
sebagus para musisi tetap saja Ama menikmatinya sepulang kerja.
Hal-hal sepele banyak yang ia rindukan. Senyumannya,
wajah Anis ketika bangun tertidur, dan cara perempuan itu ketika menyisir
rambut. Apapun itu Ama merindukan semua hal tentang Anis. Kali ini pria jakung
itu membawa sebotol air dan tak lupa tiga tangkai bunga matahari. Kakinya melangkah
tanpa ragu, dan tentu Ama sudah menghafal betul letak tempat yang akan ia
kunjungi kali ini.
“Hari ini enggak banyak yang dilakuin tapi aku
seneng,” ujar Ama mulai angkat bicara.
Yang dihadapannya masih diam.
“Kamu tau aku memang enggak bisa dapetin yang aku
mau, kayaknya betul yang orang katakan aku enggak pintar buat dapetin semua
itu.”
“Makannya aku cari cara lain, tapi aku masih enggak
bisa nemuin itu.”
Kali ini keduanya saling terdiam, Ama tertunduk
mencoba menahan tangis. Namun kali ini bahunya bergetar. Salah satu tangannya
terulur, mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Anis. Pernikahan yang ia
jalin sudah berjalan tiga tahun, dan Anis lebih dulu meninggalkan Ama untuk
selamanya.
Ama mengusap air matanya dengan asal, dan menaruh
bunga matahari itu diatas tanah tempat Anis besemayam.
“Seperti biasa aku bawa bunga matahari buat kamu.”
“Maaf ya Nis kalau tiap kesini aku selalu ngeluh dan
cerita apa yang aku rasain,” ucap Ama kali ini tangannya tak tinggal diam. Ia
membersihkan beberapa daun kering yang ada dihadapannya, tangannya juga masih
sibuk mengelus pelan nisan milik Anis, terlihat warna nisan yang sudah mulai
memudar. Ama hendak mengantinya, tetapi entah mengapa ia selalu lupa akan hal
itu.
Waktu menunjukkan hampir pukul 5 sore, Ama enggan
juga pulang ia lebih memilih merbahkan diri pada samping pemakaman milik Anis.
“Boleh aku memelukmu sekali saja, aku sangat belum
bisa menerima kenyataan.”
Tamat
Comments
Post a Comment