Sesuatu, dari Dalam Diri

 Oleh, Biru

Aku terduduk, mendongak dan menatap langit melihat bulan yang berada diangkasa masih berkawan dengan bintang sedangkan aku berada diteras sendirian. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan Mbak Rara juga tak kunjung kembali, ini mungkin terdengar membosankan waktu pertama kali menjalankan dan lama kelamaan aku menjadi terbiasa.

“Lho kenapa duduk sendirian diluar?” tanya Mbak Rara yang tiba-tiba muncul begitu saja.

Kedatangan yang sendari tadi aku harapkan, kulihat wajahnya yang nampak lelah dengan tetesan keringat yang mengalir beberapa kali dari dahinya. Ia mengapusnya asal.

“Aku bosan dan mau ngasih Mbak ini,” kataku sambil menunjukkan sebuah kertas tagihan listrik bulan ini. Aku tau Mbak Rara sangat malas menanggapi ujaranku, apalagi sepulang bekerja aku yakin dia hanya ingin istirahat dan tak mengobrol denganku.

“Taruh saja dimeja.”

Aku meletakkannya, kemudian meningalkannya yang tengah sibuk dengan sendirinya. Kembali ke meja makan dan mengambil beberapa sendok nasi dengan sayur yang Mbak Rara masak tadi pagi.

“Mbak udah makan?” kutanya ia ketika melihatnya berjalan hendak ke kamar mandi.

Mbak Rara tidak bersuara, ia hanya menggeleng dan menyelesaikan sesi bersih dirinya. Aku hanya mengangguk pelan dan melanjutkan sayur yang ku ambil tadi. Setelah semuanya selesai aku kembali membereskannya, dan melihat Mbak Rara yang tengah terduduk di meja belajar.

“Mungkin masih ada pekerjaan atau tugas sekolah yang belum selesai,” Pikirku.

Aku kembali berjalan ke dapur, dan berjalan kearah kamarnya dengan segelas teh hangat.

“Buat Mbak Rara,” kataku.

“Makasih Ja.”

Aku tidak memutuskan untuk pergi, melainkan duduk ditepi ranjang menatap Mbak Rara yang sibuk dengan beberapa tumpukan buku dan kertas-kertas yang berantakan.

“Bapak kemarin kesini.”

Aku kembali membuka percakapan, jari jemari Mbak Rara yang tadinya sibuk menulis dan mencoret kini teralihkan.

“Maksudnya?” ia bertanya.

Aku mengangguk.

“Mungkin yang dimaksud Eja kenapa bapak kesini kan karena ibu baru saja meninggalkan kita.”

“Memang kenapa Bapak kesini?” tanya Mbak Rara seraya meletakkan pensil yang sendari tadi berada dalam genggaman.

Aku diam sejenak kemudian kembali berkata “Karena Eja takut sendirian, Eja mau Bapak yang nemenin.”

“Tapi Bapak malah marah-marah.”

“Kan Eja bisa telfon Mbak Rara, udah dibilang kalau ada apa-apa telfon Mbak,” terang Mbak Rara.

“Soalnya Bapak pandai gelut jadi Eja menelfonnya.”

“Ada yang gangguin kamu?”

Aku menggeleng.

“Lantas?”

“Karena ada Eja yang lain untuk mengajak Eja menyusul Ibu.”

Tak ada sahutan dari Mbak Rara, ia terdiam beberapa saat kemudian hanya suara isakan yang meramaikan rumah kecil kami. Dan sebuah pelukan dari Mbak Rara menjadi penutup malam yang hangat, ini cukup menenangkan dan Eja suka demikian.

Tak perlu lagi takut

Tak perlu lagi berpikir hal yang memuakkan

Tak perlu lagi mendengar amarah Bapak

Tapi, sayangnya hanya bisa kudapatkan malam ini

Karena esok pagi Mbak Rara kembali dibawa pagi

Tamat

Comments

Popular Posts