Potrait of Ama Yesin

 Oleh Biru

Note : Read and listen Stephen Sanchez Until I Found You  [If you want]

Aku mencium keningnya, sudah terhitung untuk kesekian kalinya. Dirasa bibir ini telah dirancang sedemikian rupa, tapi kurasa ini terlalu aneh tapi disisi lain tidak juga ah tak apalah semua juga pernah jatuh cinta. Semua juga dapat merasakannya tetapi entah kapan. Aku tak tahu jika kalian bertanya, kapan giliran untuk seseorang yang tengah sendiri dengan ribuan buku, musik, stok kaset yang akan diputar tetapi yang pasti kau akan menemukannya. Mungkin bukan saat ini, hendaknya ada usaha jika sebuah kemauan itu muncul dan sebuah niat pun tertata. Pun juga hati juga sudah siap tak ada salahnya melangkah perlahan.

Kembali aku menyusuri wajahnya, kali ini berhenti pada bibirnya. Kulihat ia tersenyum, kembali dilakukannya kali ini ia menakup kembali pipiku dan bergerak tanpa menunggu aba-aba. Sebuah kecupan bertubi-tubi datang, membuat bibirku tersenyum sempurna.

“Harus besok perginya?” ujarnya dengan merajuk.

“Apa enggak bisa ditunda dulu?” tanyanya sembari memainkan ujung kaosku.

Aku menggeleng pelan.

“Kita bisa bertemu kembali tahun depan.”

Yesin menghela napas dengan berat, aku tahu dia akan mencoba segala cara untuk membiarkan aku sehari saja untuk tetap disurabaya.

“Kan tahun depan tidak sebentar, itu lama Ama.”

“Harus kujelaskan beberapa kali sih kalau setahun itu tidak sebentar.”

Aku kembali tersenyum, ku acak pelan surai hitam miliknya. Wajahnya kembali cemberut, hendak meninggalkan rindu yang mendalam. Padahal seseorang yang dinantinya masih ada dihadapannya.

“Iya yang bilang sebentar juga siapa.”

Ama mendekat dan memberikan sebuah pelukan, mengusap pelan punggung kekasihnya. Sebentar lagi kebersamaan secara kontak fisik akan terhapuskan Palembang dengan Surabaya itu cukup jauh dan tentunya cukup merepotkan sesekali tetapi Yesin dan Ama tak pernah mempermasalahan mengenai itu semua.

“Yaudah gantinya…. Aku mau wedang ronde aja,” kata Yesin.

“Kenapa wedang ronde?”

“Ini dingin kan enak yang anget-anget,”

“Kenapa harus wedang ronde kalo bisa kelon?”

“Hush Ama!”

“Apa?”

“Salah banget ngajak Ama maen kotor banget otaknya,”

Ama hanya tertawa melihat Yesin mengerutkan dahinya, memang momen yang ia suka ketika tengah menggoda kekasihnya. Gemes, begitu kiranya pikir Ama.

Ama mendekat, memberikan kecupan demi kecupan. Melumatnya bergantian atas dan bawah, serta mengigit pelan bibir yang menjadi candunya. Saat itu juga rasa kantuk, dan hawa dingin yang tadinya menyelimuti yang sebelumnya ia rasakan hilang entah kemana. Yesin mencoba mengimbangi kekasihnya itu.

“Pelan-pelan Ama.”

Yesin mencoba berbicara pada sela-sela ciumannya, dan Ama mengerti ia menurunkan temponya dan perlahan melepaskan ciumannya.

“ I love you Yesin.”

“I love you more Ama.”

Tamat


Comments

Popular Posts