Kembali dan Berucap “Selamat tinggal”

 Oleh Biru

Kulihat sesekali langit biru sejauh mata memandang. Beberapa diantaranya burung gereja bersiul meramaikan alam yang sekiranya mulai terdengar hening. Setelah beberapa menit memandang sekitarnya aku mendengar seseorang memanggil.

“Ada apa dengan Moonlight Sonata?” ia bertanya.

Oh kiranya Ayah, ternyata ada Aji disana. Ia datang dengan pakaian rapi, setelan jas hitam.

“Habis dari mana?” ujarku menyela pertanyaanya.

“Pergi ke pemakaman.”

Aku mengangguk tanda mengiyakan.

“Lantas ada apa dengan Moonlight Sonata?” ia melontarkan pertanyaan itu lagi.

“Tak apa, hanya saja membuat perasaan lebih tenang.”

“Membuat hal yang tadinya ricuh menjadi sedikit demi sedikit terkontrol.”

Aji berjalan mendekati, tanpa banyak bicara ia datang memberikan sebuah pelukan. Hangat, aku suka dengan hal ini. Biasanya ibu melakukan itu dulu ketika aku jatuh dari sepeda, atau ayah melakukannya ketika aku mendapat juara kelas. Ya, mereka sering melakukannya dan itu cukup menghangatkan perasaan. Membuat semuanya jauh lebih melegakan.

“Kenapa kau menangis?” kutanya.

Aji hanya diam, bahunya bergetar seolah menahan ribuan air mata yang akan jatuh. Sesekali aku menepuknya perlahan untuk sekiranya membuat ia lebih tenang, dan setelah itu aku yakin ia akan menceritakannya dari awal mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Apakah Kewi sang istrinya tengah jatuh sakit?

Apakah Ayah melakukan kesalahan?

Apa program kerja yang ia lakukan tengah ada hambatan?

Kita sama-sama tidak mengetahuinya. Aji melepas pelukan itu secara tiba-tiba.

“Kau harus bergegas saat ini juga,” ujarnya dengan sedikit terisak. Tangannya dengan asal membasuh air mata yang terus mengalir.

“Kenapa? Ada apa?” kutanya balik.

“Ibu akan pulang.”

Tamat

Comments

Popular Posts