Punggung Masa Kecil

 Oleh Biru

“Sekarang sudah menikah?” tanyanya.

Aku hanya menggeleng pelan kemudian beralih pandang. Kembali mencari-cari beberapa tumpukkan buku ditambahi dengan kertas yang berserakan. Tapi gadis mungil yang ada dihadapanku malah mengajak bicara dengan menanyakan hal yang seolah ia ingin tahu banyak mengenai diriku.

“Kenapa belum? kulihat temanmu sudah melakukan hal yang sama.”

“Ya karena aku sedang belum ada kemauan,” kujawab asal.

Dia menghela napas pelan kemudian berjalan mengikutiku ketika kakiku beranjak kearah tumpukkan lainnya. Entah mengapa ketika melihatnya mengingatkan ku pada usia yang sama. Kita masih bergelut dengan masalahnya sendiri, yang tidak jauh-jauh menebak pikiran orang dewasa.

Cukup rumit, dan memuakkan. Beberapa dari mereka juga sulit mengerti aku seperti apa, berujung pada tantrum yang tak terhentikan. Membuat seluruh mata teralihkan, menatap enggan pada aku yang dulunya sering menangis tak tertahankan.

“Lantas bagaimana dengan ibu, apakah hubunganmu dengan beliau masih saja sama?”

Demi apa, dia terlalu banyak berbicara.

Aku tak tahu kesalku di buat olehnya atau berusaha menemukan hal yang kucari sendari tadi tapi belum kunjung ada.

“Bisa kau duduk saja sebentar, aku tak punya banyak waktu.”

Oke baiklah mungkin hal ini akan mempercepat gadis kecil itu menghilang.

Aku terduduk pada lantai perpustakaan, lalu menaruh beberapa buku yang kubawa bersama lembarannya. Gadis kecil itu melakukan hal yang sama. Setelah aku lihat dari mulai manik matanya, hidungnya, lekuk bibir mungil dengan rambut dengan potongan laki-laki.

Seperti aku yang dulu, tepatnya diumur ya mungkin sepuluh tahun.

“Kulihat kau terlihat banyak berubah, aku sangat menyukainya,” ujarnya lirih kemudian beberapa tetesan air mata jatuh membasahi pipinya. Segera ku ulurkan tisu dan kuberikan padanya tetapi ia menolak dengan segera. Ia lebih memilih mengusapnya dengan jemari yang nampak mungil, seperti gadis kecil pada umumnya. Itu sangat menggemaskan, membuat aku ingin menggengamnya.

“Aku tahu kau cukup lelah untuk melakukan segala hal dan banyak yang dikorbankan untuk menjadi seperti yang saat ini. Dulu kau tidak mudah takut akan apapun permasalahannya ya mungkin jika dibandingkan dengan sekarang sudah jauh berbeda tapi itu sudah cukup keren, tetapi masih saja banyak ke khawatiran seperti saat ini pun sama. Jadi aku harap semoga ditahun selanjutnya lekas membaik.”

“Selamat beranjak untuk tahun yang ke dua puluh dua, aku harap kau bisa yakin akan banyak hal,” sambungnya kemudian beralih mengusap pipiku pelan.

Ya aku menangis, aku tak tahu mengapa aku menangis saat itu juga tapi itu cukup menyedihkan.

Lewat kata aku bisa merasa sepenuhnya, dan gadis itu menyampaikan sepenuhnya apa yang kurasa membuatku ingin sesegera mungkin memeluknya tapi entah mengapa saat ini aku hanyak dihadapkan dengan setumpukkan buku bersama lembaran yang ku genggam.

Tamat

Comments

Popular Posts