Menjemput, Bapak
Oleh Biru
Berawal
dari rintik hujan yang beberapa titik sekarang menjadi basah keseluruhan.
“Pak
hujan,” teriaknya.
“Mau
balik sekarang?” sambungnya dari kejauhan.
Lelaki
tua yang tadinya sibuk dengan tumpukkan daun kini berlari menjauhi hujan untuk
sekadar berteduh. Lalu membiarkan sapu itu tergeletak diantara kuburan yang
nampaknya sudah bersih. Bocah berusia tujuh tahun itu menyusul, berlari kecil
kearah Bapak.
“Mau
balik sekarang Pak?” ia bertanya kembali.
“Belum
selesai mungkin kalau hujannya enggak reda kita baru pulang,” terang Bapaknya
sambil beralih duduk untuk sekadar mengistirahatkan tubuhnya.
“Pak aku
mau hujan-hujan, boleh enggak?”
Bapak
mengangguk, tanda memperbolehkan.
“Jangan
jauh-jauh dekat sini saja.”
Azam
mengangguk kemudian berlari menjauhi tempat keranda itu disimpan. Disana biasa
menjadi tempat peristirahatan sementara ketika Azam tengah membantu Bapak
membersihkan makam desa. Meski tak membantu banyak seringkali Azam membawa
cerita yang lain dimana ada bagian dalam diri Bapak yang membuat untuk tetap
terjaga.
“Zam
jangan jauh-jauh,” teriak sang Bapak.
Azam
melambaikan tangannya, kini bajunya yang lusuh basah kuyup oleh air hujan. Kaki
mungilnya bercampur dengan tanah kuburan basah. Sesekali ia memainkan air yang
menggenang ditanah, ia merasa ada yang salah ketika langit mulai meredupkan
diri secara perlahan.
Waktunya
bergegas pulang.
Azam
yang tadinya berlari menikmati air hujan kini ia terduduk lesu pada salah satu
pusara yang ia pandangi.
“Pak ayo
pulang,” ajak Azam.
“Bapak,”
panggil Azam lirih diikuti dengan suara tangisan.
Tamat
Comments
Post a Comment