Bukan Satu Kepala, dan Termasuk Pemikiran
Oleh Biru
“Apa
memang semua ibu di seluruh dunia seperti itu?” kutanya.
Ia
yang tadinya memainkan pasir kini menoleh ke arahku.
“Kenapa
memang?” ia bertanya balik.
“Suka
mendiamkan anak mereka tanpa kejelasan, lalu diikuti sebuah teriakan,”
terangku.
Kumi
hanya menggeleng dan kembali melanjutkan kegiatannya bermain pasir, kali ini ia
tidak lagi membangun istana dengan cetakan plastik berwarna biru melainkan hanya
sebuah gundukan pasir dengan lubang yang berada ditengahnya.
“Kenapa
mengatakan demikian?” ia bertanya kembali.
“Karena
aku melihat seorang ibu yang demikian.”
“Kau
takut?”
“Tidak.”
“Lantas?”
Kini Kumi beralih mengerutkan kedua alisnya seiring dengan nada bicaranya.
“Tidak.
Tak apa,” ujarku kemudian meraih cetakan biru itu dan ikut serta memainkannya.
“Mungkin
dia sedang kelelahan,” kata Kumi.
Gundukan
pasir tersapu ombak, dan Kumi terlihat gusar maka ia mengajakku menepi untuk
mencari tempat yang sekiranya lebih strategis. Tangan kirinya membawa skrup
mainan plastik, dan tangan kanannya mengandeng lengan kiriku. Kami berdua
berjalan menjauhi bibir pantai, dan tak selang berapa lama Kumi menghentikan
langkahnya.
“Kita
bermain disini saja.”
Aku
mengangguk dan kami kembali bermain pasir.
“Itu
sedikit aneh, soal yang tadi,” kataku.
“Ibumu?”
Kumi melempar pertanyaan mungkin untuk sekadar memastikan.
“Ia
karena beliau melakukan secara berkali-kali, dan itu membuatku merasa tidak
nyaman.”
Aku
memberi jeda pada kalimat selanjutnya.
“Dan
membuat otakku tidak berhenti berpikir apa aku sudah membuat kesalahan yang
fatal.”
Seperti
menumpahkan segelas susu, tidak membersihkan lego yang berserakan atau tidak
menggunakan celmek saat makan. Setelah dipikir-pikir aku tidak melakukan semua
kesalahan yang ada dalam list buku sekolahku.
Kumi
mengangguk dan beralih menatapku, kemudian menggeleng.
“Memang
orang dewasa sulit untuk dimengerti.”
Tamat
Comments
Post a Comment