Pamit Tak Ada
“Semua tak ada bedanya,” ujarnya melemah.
Melihat
Anggih kembali dengan keadaan seperti ini membuatku ingin segera melawan, jika
bisa dan mampu. Namun kami masih terlalu kecil untuk saat ini, tak ada
hitungannya walau seujung kuku.
Kalau
ditanya apakah kau menyukai Anggih yang selalu membicarakan banyak hal atau dia
lebih baik diam seribu bahasa, jujur aku merindukan bagaimana cara Anggih
menjelaskan tiap-tiap hal yang justru tidak penting. Dari hal yang terkesan
sepele dan justru membuatku marah tiap detiknya tapi aku merindukan hal itu.
“Kalau
saja tak ada kalian disini mungkin aku memilih untuk mati saja,” kata Anggih
kemudian merebahkan tubuhnya, ia masih mengiggil terdengar dari beberapa kali
ia mencoba menahan untuk tidak mengertakkan giginya.
Aku
berdiri seraya memberikan ia kain sarung yang tadinya kugunakan, kututupkan
bagian kakinya yang masih terbuka. Terlihat mata Anggih berkaca, mencoba untuk
tak meruntuhkan pertahanannya selama beberapa hari ini.
Semua
terdiam mendengar perkataan Anggih.
“Nggih,
kita semua bisa pasti bisa,” Temi menyahut.
“Setelah
Tera tertangkap juga,” sahut Anggih pelan namun masih terdengar jelas.
Aku
menelan ludah kasar, memastikan bahwa yang dimaksud Anggih salah.
“Kamu
di interograsi bareng Tera?” kutanya.
Anggih
mengangguk.
“Tera
sudah terbunuh ditangan mereka,” suara Anggih kali ini dengan sedikit bergetar.
Semua
terdiam mendengar hal itu. Tolol. Kenapa semua itu terjadi, bodoh. Sungguh
mereka kawanan manusia yang tak bisa dimanusiakan.
“Aku
menduga ia terserang hipotermia.”
“Dia
lebih dulu disana, tepatnya diatas sebuah balok es mengiggil dan pucat.”
“Selanjutnya
tak ada suara lagi, dan semuanya tertawa.”
Tamat
Comments
Post a Comment