Kini yang Tersisa Hanya Sebagian
Untuk
kesekian kalinya aku ingin menangis sejadi-jadinya, semua yang ada diruang tamu
dipenuhi orang-orang keras kepala. Termasuk, bapak, ibu dan Amari. Aku bisa
jadi termasuk bagian dari mereka yang juga sama-sama tak mau mengerti keadaan.
“Sebelum
pergi kita makan dulu,” ujar ibu lirih.
Beliau
beranjak dari tempat duduknya kemudian disusul Amari.
“Siapa
tau nanti Mas mu datang kembali,” sahut bapak.
Aku
menghela napas kasar, mencoba mencerna dengan keadaan yang ada. Kalau
terus-terusan seperti ini rasanya ingin pergi saja. Ketidakpastian seolah
menjadi makanan sehari-hari, apalagi dengan Bapak dan Ibu yang sudah diusia
senja. Mereka butuh waktu untuk beristirahat dan insomnia seolah menjadi kawan
terdekat untuk keluarga kami saat ini.
“Mas
enggak akan balik lagi Pak,” ucapku berteriak dengan lantang.
Ibu dan
Amari yang tadinya sibuk menyiapkan makanan untuk malam ini berlari kearah
ruang tamu, mungkin karena suaraku kali ini yang cukup meninggi. Karena,
sungguh aku tidak tahan dengan mencoba untuk tetap ada untuk orang yang sudah
tiada.
“Ini
sudah tahun ketiga Mas Raya tidak kembali,” sambungku, kali ini suaraku sedikit
bergetar.
Sebenarnya
jika ditahan mungkin saja bisa untuk tidak mengatakan hal yang tidak seharusnya
tapi entah kenapa ada rasa lelah dalam diri sendiri. Mencoba menahan dan
membiasakan selama tiga tahun namun tetap saja sulit. Semua masih keras kepala
dengan keadaan yang ada.
“Mbak,”
sahut Amari lirih.
Dia
selalu mencoba untuk menenangkan kami dalam perasaan apapun. Pantas Mas Raya
selalu saja menanyakan keadaan Amari, dan membelikan apapun barang kesukaan
Amari dan begitu juga padaku. Mas Raya, aku masih tidak yakin apakah kamu
beneran sudah benar-benar pergi atau ada seseorang yang menyekapmu selama ini?
Kami semua tidak tahu menahu soal itu. Resiko menjadi keluarga aktivis
seringkali dihantui dengan rasa takut, ketidakpastian dan rasa tidak tenang.
“Maaf,
seharusnya Nadin tidak seperti ini.”
Aku
beralih meraih jaket yang tak jauh dari jangkauan ku, kemudian pergi untuk
menjemput Mas Fena. Aku akan mengajaknya untuk menjelaskan beberapa hal yang
perlu dijelaskan termasuk penemuan sisa tulang belulang yang di duga itu milik
Mas Raya.
“Tunggu
Nadin akan membawa Mas Fena kemari, ada yang perlu dijelaskan.”
“Jika
Nadin yang mengatakan, percuma.”
“Kalian
tidak akan percaya bahwa sudah dari lama Mas Raya tiada.”
Tamat
Ngeri ngeri sedep baca endingnya🙂
ReplyDeleteAstaga hahaha Angga makasih udah baca <3
Delete